PSSI Riwayatmu Kini ?
Akar permasalahan yang membelit mandeknya kemajuan persepakbolaan nasional kita, tidak lain adalah sikap dari para pengurus PSSI yang otoriter. Menggunakan PSSI sebagai tunggangan politik mereka, dijadikan sapi perah untuk menarik keuntungan kelompok mereka. Mereka bagaikan penguasa di Mesir dan Tunisia yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan keluh kesah rakyatnya.
7 tahun menjadi orang nomor satu di PSSI, seolah belum cukup bagi Nurdin Halid untuk kemudian dengan sadar diri mundur dari dunia persepakbolaan Indonesia. Latar belakang Nurdin Halid mendapat sorotan. Ironisnya, Nurdin pernah memerintah PSSI dari balik jeruji penjara karena menjalani tiga jenis tindakan pidana yang berbeda-beda, mulai dari korupsi gula, distribusi minyak goreng, serta tuduhan pelanggaran impor beras; FIFA seolah-olah tutup mata.
Posisi Nurdin sebagai kader suatu partai besar jelas menimbulkan tanda tanya tentang penegakan semangat FIFA yang memisahkan campur tangan politik di dalam sepakbola. Jika dilihat sumber pendanaan kompetisi sepakbola Indonesia yang mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), tanda tanya itu jelas kian besar.
Masalah lain adalah pembenahan sistem selama PSSI diperintah Nurdin. Kompetisi model baru dengan nama Superliga Indonesia (ISL) digelar sejak 2008, tetapi tidak banyak perubahan yang terjadi. Lebih jelas lagi, tidak ada peningkatan kualitas yang signifikan. Prestasi klub-klub Indonesia di kancah Asia masih tetap memalukan.
Harapan masyarakat Indonesia pada kongres PSSI mendatang adalah, kongres berjalan fair dan bebas dari intervensi suatu kelompok atau partai dan urusan politik, sehingga bisa menghasilkan para figur yang memang layak dan capable untuk mengangkat prestasi persepakbolaan nasional kita. Dengan kata lain, kongres diharapkan bisa mengganti Ketua Umum PSSI saat ini, Nurdin Halid, yang sudah banyak mendapat tekanan keras dari pecinta sepakbola tanah air untuk lengser karena dinilai tidak mampu membawa perubahan yang signifikan terhadap persepakbolaan tanah air.
Masyarakat Indonesia menginginkan reformasi total, berharap pemerintah dalam hal ini Menpora, tidak hanya diam, harus ada intervensi pemerintah dan tidak ada ruang untuk money politics.
PSSI lah yang bisa menentukan kiblat sepak bola Indonesia. PSSI bisa menentukan kebijaksanaan lain, misalnya bikin kompetisi dan lain-lain. Harus ada evaluasi tentang prestasi yang telah dihasilkan pengurus yang seharusnya bertugas untuk membuat persepakbolaan Indonesia semakin baik. Namun justru hasilnya akhir-akhir ini bisa dilihat, begitu sangat mengecewakan.
Sepertinya PSSI sendiri tidak tahu apa masalah tim nasional kita. Ketika timnas Indonesia gagal menjuarai AFF Suzuki Cup pada Desember 2010, sorotan kembali mengarah pada PSSI. Di samping kekecewaan karena gagal menjuarai turnamen meski tim-tim lawan tampil dengan kualitas yang cenderung tidak kompetitif, publik juga kesal atas manajemen penyelenggaraan turnamen yang kacau balau – terutama masalah penjualan tiket.
Sepakbola Indonesia merupakan alat pemersatu. Di tengah kondisi masyarakat yang kian susah, kian muak melihat tontonan kasus korupsi, mafia hukum, yang bak cerita sinetron tak pernah ada endingnya seperti sekarang ini. Dan hiburan yang menjadi pelipur lara bagi masyarakat banyak adalah sepakbola, namun sepakbola yang bermutu tentunya. Dan PSSI, sejujurnya memang sudah dalam kondisi akut, menderita. Butuh solusi, revolusi dan resolusi. Semoga harapan masyarakat Indonesia untuk kemajuan sepak bola nasional tidak hanya menjadi harapan semu!!!
revolusipssi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar